Bagi umat Islam, berdoa di depan Ka’bah bukan sekadar ritual biasa. Ia adalah detik paling dinanti, saat hati bergetar menyambut kehadiran Tuhan di hadapan rumah-Nya yang pertama kali dibangun di muka bumi. Di tanah suci Mekah, ketika bibir mulai bergerak mengucap doa, langit pun seolah merendah, menerima setiap titik air mata yang jatuh.
Sejarah dan Keistimewaan Ka’bah
Ka’bah, yang disebut al-Baitul ‘Atiq dalam Al-Qur’an, adalah simbol kesatuan umat Islam. Dibangun oleh Nabi Ibrahim dan putranya Ismail berdasarkan perintah Allah, bangunan berbentuk kubus ini menjadi kiblat shalat bagi Muslim di seluruh dunia. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya shalat di Masjidil Haram itu lebih utama dari seribu shalat di masjid-masjid lain, kecuali Masjid Nabawi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keistimewaan ini menjadikan berdoa di depan Ka’bah sebagai momen yang tak ternilai. Tidak heran jika jutaan jamaah haji dan umrah rela menempuh perjalanan jauh, mengeluarkan biaya besar, hanya untuk beberapa menit bersimpuh di sana.
Etika Berdoa di Depan Ka’bah
Meski penuh kehausan spiritual, berdoa di depan Ka’bah tetap memiliki adab yang harus dijaga. Pertama, niat harus ikhlas—hanya untuk Allah, bukan untuk pamer di media sosial. Kedua, menghadap kiblat dan berdiri di tempat yang tidak mengganggu jamaah lain. Ketiga, mengangkat tangan selevel bahu, sebagaimana diajarkan Rasulullah.
Yang tak kalah penting, doa harus dilantunkan dengan penuh kekhusyukan. Di tengah kerumunan manusia dari berbagai penjuru dunia, jamaah diajak untuk tetap fokus pada dialog batin dengan Tuhan. Sebagaimana firman-Nya, “Serulah Aku, Aku akan menjawabnya.” (QS. Al-Baqarah: 186)

Hi, this is a comment.
To get started with moderating, editing, and deleting comments, please visit the Comments screen in the dashboard.
Commenter avatars come from Gravatar.